“Jingga… abang jenuh dengan pernikahan kita!! Mengertilah….”
“Apa yang abang tidak suka dari diri jingga?? Katakan Bang… jingga akan mencoba berubah, tapi jangan minta jingga berbagi abang dengan perempuan lain… Abang jenuh dengan malam kita yang akhir-akhir ini agak datar??? Bang… tahanlah sebentar… 2 bulan lagi anak kita lahir.. kalau perut ini sudah tidak sebesar ini jingga pasti sanggup seperti dulu lagi….”
“Jingga sayang… bukan hanya masalah itu! Mengertilah… abang sendiri tidak tahu mengapa abang begini… rasa ini terlalu mendesak hati abang…. Jangan menangis begitu… abang jadi sedih.. kasihan anak kita kalau jingga terus menangis…”
"Bang, Jingga menyesal janin ini ada di perut jingga!! Jingga gak mau baang... jingga ga mau.... buang saja dia Bang!! baru abang menikah lagi!!"
Plaaaak!! Tamparan bang Ibay tidak dapat aku hindari lagi...
"Sadaar jingga! itu anak kita! bagaimana mungkin kau berpikir matikan darah dagingmu sendiri!! "
"Baru kali ini abang sekasar ini ke Jingga... baru kali ini abang tega pukul jingga.. hanya karena kembang kan??? hanya karena dia kan??? Baiklah... silahkan saja abang nikmati janda centil itu! tapi jangan pernah sentuh jingga lagi!! Puas??? Puas Bang???" aku tidak lagi sanggup berdiri terlalu lama dihadapan lelaki itu. Tanpa berpikir dua kali, aku tinggalkan rumah suamiku, sementara dia hanya bisa mematung tanpa beranjak dari tempatnya berdiri sedikitpun. Mulutnya terkunci tak ada satu katapun yang terucap.
langkahku tak bisa berhenti.... Kak Asih! mungkin kak Asih yang masih bisa membuatku tenang. Tak peduli dengan besarnya perutku yang sudah tujuh setengah bulan menjadi tempat nyaman benih suamiku, aku lari semampu dan sekuatku, bukan karena aku takut gelap! hanya perih di dada ini sudah tak sanggup aku tahan sendiri.