Perempuan gaun hitam...
Air muka tak lembut sedikit garang..
Aaah... angkuhmu boleh kugapai..
Bersama genit bintang malam
Dan sepinya si bulan pucat...
Perempuan liar!!
Akan kulumat sampai luruh seluruh gaunmu....
kau meliuk buas bak penari salsa yang hanyut oleh tegukan Martini...
geliatmu liar bagai bara panas luluhkan geloraku....
kuda betina binal!!
Kau bawaku lari ke ranah Nikmat....
Hentakmu keras... ceracaumu penuhi setiap rongga dengarku...
Aku mabuk dalam sengatan liarmu...
Aaaahhhh… Imaji terliar tentangmu sisakan rasa yang tertunda,
Antara siksa dan rindu desahmu…
Aku membuka coretannya untukku, ya.. ya.. tulisan ini dulu dia selipkan dibawah bantalku, seminggu setelah kami pulang bulan madu ke Bali, abang begitu menikmati setiap kebersamaan kami, tak ada waktu luang yang terlewatkan tanpa kecupan-kecupan panasnya, tak ada malam yang terlewatkan tanpa desah nakalku. Sampai saatnya buah cinta kami menggeliat dalam rahimku, abang jadi semakin memanjakanku, aaaah… siapa yang tak bahagia memiliki suami seperti Bang Ibay? Dia mampu membuatku tenang disaat terkalut dalam hariku, rengkuhnya selalu hangat tiap kali aku butuhkan bahunya, tatkala jiwa ini lelah.
Tak terasa mataku jadi kuyup, dada ini jadi perih… rasa cemburu teramat mengiris hati. Larik aksara ditanganku aku remas sekuatku, biarkan saja kusut… biarkan saja rusak… makna cinta tak dapat lagi aku rasakan disana. Semua berawal pagi tadi saat Kembang menghubungiku lewat telepon, suara janda cantik itu begitu lembut, tetapi menjadi awal duri dalam dagingku, bagaimana tidak, jika yang dia minta adalah ijin menjadi istri kedua bagi suamiku.
Rasanya masih jelas dalam ingatanku setiap lontar katanya, “Anu, Mbak… kembang boleh jadi istri kedua Pak RT Ibay??” perempuan mana yang mau berbagi cinta suaminya?? Perempuan mana yang rela berbagi raga suaminya?? Sedang janin di perutku dua bulan lagi akan lahir. Tak ada asap tanpa api, semua pasti ada sebabnya, mengapa kembang begitu beraninya mengucapkan permintaan itu. Cemburu itu mencabik perih setiap salur-salur rasaku.
Saat suamiku pulang dari kantor desa, seperti biasa jari-jariku melepas satu persatu kancing bajunya, tak untuk bercinta! Tapi hal ini sudah menjadi janjiku, ya.. ya.. kebiasaan setiap pagi dan sore hari yang selalu aku lakukan. Saat Pagi sebelum dia meninggalkanku jariku sendiri yang menutup setiap kancing bajunya. Bagiku… itu saatnya aku kunci hati dan raganya untuk perempuan manapun, saat dia kembali dihadapanku, biarkan jari-jariku yang membuka kembali satu persatu kancing bajunya, karena saat itu dia bebas melepas hati dan raganya, hanya untukku. Aku selalu menjadi perempuan yang paling berbahagia tatkala jari-jari ini melepas satu persatu keping-keping bulat kecil di bajunya, dia selalu mengakhiri moment itu dengan kecupan lembut dikeningku, aku menjadi perempuan yang merasa paling dicintai tiap kali kecupan itu aku dapatkan. Hangat! Nyaman.. ya.. ya.. teramat nyaman!
Rasa yang hilang saat ini!! Laki-laki yang sama berdiri tegak dihadapanku, dengan bau tubuh yang sama!! Saat jariku menari didadanya, aku menahan gumpalan perih dalam dadaku. Tak ada yang berubah dari lelakiku, dia kecup keningku. Tetapi bukan lagi rasa tenang yang aku dapat, gumpalan perih itu makin membuncah!
“Bang, teh hangatnya sudah jingga siapkan di meja depan…” sesaat kalimat itu keluar dari bibirku setelah kecupannya kuterima, aku beranjak dari peluknya menuju lemari pakaian, kaos kuning dan celana pendek hitam ku letakkan diatas tempat tidur kami,
“Mandilah dulu Bang, biar abang segar”
“Iya sayang…” jawabnya singkat.
&&&&&
Seperti senja-senja kemarin langit mulai sebarkan warna jingganya, (harusnya) saat itu saat indah bagiku, bagaimana tidak?? Aku menghabiskan waktuku dengan tiga hal yang selalu membuatku hangat, warna jingga langit, hangatnya sorot mata lelakiku dan secangkir kopi creamer ditanganku, bisa memandang lelakiku menikmati teh hangat kesayangannya adalah anugerah bagiku, Ahhhhh… aku menyesal! Mengapa senja kemarin aku lewati tanpa hal istimewa?? Andai aku tahu senja kemarin adalah senja terakhirku nyaman disampingnya, tentu aku akan lebih menikmati tiap detiknya.
“Jingga…. Mengapa kamu tatap abang seperti itu?? Ada apa ini???”
Pertanyaan itu membuatku sadar dari semua andaiku…
“Abang…. Boleh jingga bicara?” tanyaku gemetar menahan tangis.
“Jingga… jingga… emangnya selama ini abang pernah melarangmu bicara?” senyumnya ringan, tangannya meraih pundakku. Dia sudah sangat tahu, saat seperti itu, biasanya aku sedang gundah.
“Bang, pagi tadi… kembang telpon Jingga”
Aku sangat tahu dia terkejut, tapi aku berusaha mengatur napasku, untuk melanjutkan kalimatku.
“kembang, minta ijin jingga untuk menjadi istri kedua abang, mengapa begitu Bang?? Ada apa ini??”
Mendadak senyap. Dia melepas tangannya dari pundakku, dia diam membisu, buru-buru dia nyalakan Malboro putih kemudian dia hisap dalam-dalam. Tangisku pecah saat itu juga. Bang Ibay tetap tak mampu membuka mulutnya. Sampai aku kuatkan hati ini bertanya sekali lagi,
“Ada apa Bang ?? ada apa antara abang dan kembang??”
“Jingga… bagaimana jika abang ingin memperistri kembang?? Apakah nantinya kalian bisa hidup rukun?? Bukankah selama ini jingga sangat dekat dengan kembang??”
Seperti terlempar dari batas bumi tatkala kalimat pinta itu meluncur dari bibir suamiku, lelaki yang menanam benihnya dikandunganku. Aku tahu asal aku ikhlas memberikan ijinku, hal ini bukan dosa untuknya, tetapi mana mungkin???? Mana mungkin aku matikan egoku untuk memiliki dia seutuhnya hanya untuk aku!!
“Sejak kapan bang??? Sejak kapan abang simpan rasa abang untuk kembang??” Tanyaku perih…
Tarian luka itu sekali lagi mainkan hentaknya dihatiku, mengapa???? Apakah aku harus kembali berpijak bahwa bukan aku yang memilih cinta, tetapi cintalah yang memilihku, lalu bagaimana dengan cinta yang aku kecap selama ini??? Apakah itu bukan cinta?? Apakah sang cinta belum memilihku tetapi aku yang paksakan dia padaku. Sehingga harus berakhir dengan satu kata LUKA????
------------------------------------------
ECR 4
--------------------------------------------
Salam Cinta : Jingga
No comments:
Post a Comment