Sinta |
Sinta:
Ombak putih berdesir membisikkan sebuah
nama, Rama. Sebuah nama yang telah menjadi pergunjingan, tidak hanya
oleh orang-orang di sekitarku, tetapi juga oleh hati dan pikiranku.
Haruskah mereka bertentangan satu sama lain?
Ah, ombak itu. Andaikan dia menyapa
laksana tsunami, sempatkah dia bertanya siapa Rama, apa latar
belakangnya, apa pekerjaannya? Apakah karena pekerjaan Rama yang
berkutat pada pemuasan nafsu perempuan-perempuan borjuis menjadikan dia
seorang yang tak layak? Tak layak untuk siapa? Tak layak untuk apa?
Siapakah yang menentukan kelayakan itu? Aku? Rama? Perempuan-perempuan
borjuis itu? Atau orang-orang di sekitarku? Tidakkah Rama mempunyai hak
untuk mencintai dan dicintai? Tidakkah dia mempunyai kesempatan yang
sama seperti dengan yang lain?
Rama, rasa ini hadir bukan atas
kehendakku dan aku tak bisa membohongi hati ini. Jujur aku menyayangimu.
Jujur aku mencintaimu. Jika seorang Maria Magdalena dapat memperoleh
kasihNya yang sempurna, mengapa tidak dengan dirimu? Penilaian mereka
adalah urusan mereka pribadi dan mutlak bukan penilaianku. Biarkan hanya
kasihNya yang menilai kita. Aku, hanyalah perempuan biasa yang ingin
menjalani cinta kasih yang seperti mata air, jujur dan bening.
.
Rama:
Hariku banyak bertemu dengan nista .
Tubuh basah tergolek yang membangkitkan nafsu liarku. Merajam setiap
malam dengan balutan dosa. Merambah ranah kering dari jiwa yang haus
belaian. Tubuh yg menuntut untuk dijamah. Malamku selalu berpacu
diantara ceracau dan geliat liar yang menuntut sampai ke puncak
kulminasi. Aahhh… Kenikmatan sesaat bersama puluhan desah wanita yang
datang dan menetap sesaat. Aku memang gemetar dalam peluk mereka saat
puncak rasaku kudapat. Sungguh hanya sesaat! Kenikmatan palsu. Tanpa
sentuhan hati. Mati. Ah, aku memang sekedar alat pemuas demi lembaran
rupiah.
Kupikir wanita hanyalah daging yang
nikmat aku jelajahi, tapi semua berubah saat Sinta hadir dalam kilasan
hariku. Sosoknya begitu lembut dengan gerai rambut yang indah. Ada getar
yang menggeletar saat kutatap matanya yang tertunduk malu. Entah rasa
apa yang dia punya. Entah apa yang dia simpan di balik hatinya. Aku
merasa waktu mendadak bergerak lambat. Diam dan sunyi, aku menanti
sebuah asa. Asa yang hanya terbentuk dari segumpal mimpi akan sesosok
dara bernama Sinta. Rasanya tidak mungkin bagiku untuk menjamah dunianya
yang terasa jauh. Sungguh! Ini bukan birahi yang mendongkrak angan.
Saat ini aku adalah Rama yang lahir dari turunan Adam. Aku punya hati
yang berfungsi sempurna. Masih layakkah aku bermimpi dengan semua
bayangan kotor di cermin hidupku?
.
Aku kalah. Ya, aku benar-benar kalah
dari seseorang yang mungkin menurut pandangan dunia tak ada seujung kuku
pun bila dibandingkan dengan diriku. Tapi entah mengapa, apa yang
dilihat dunia tak sama dengan apa yang dilihatnya. Saat semua orang
melihat Rama sebagai seseorang yang tak pantas, Sinta justru melihatnya
sebagai seseorang yang menawan secara abstrak. Mungkin sama seperti
tetes keringat wajahnya yang bila dilihat orang biasa hanyalah lambang
acak-acakan tapi dia malah melihat itu sebagai pelengkap kilau pesona di
wajahnya.
Aneh. Kenapa bisa tak sama yang dilihat? Cinta memang aneh.
Aku mencintaimu, Sinta. Entah sudah berapa kali kalimat ini hanya mampu terucap dalam hati dan terkunci sampai di mulutku. Biar saja orang bilang aku pengecut karena tak kunjung mengungkapkan rasa ini. Satu hal yang pasti, aku bukan pengecut! Aku hanya tak mau membebani dirinya dengan rasa cintaku. Aku hanya ingin kamu bahagia, Sinta, meski tak ada aku di dalam bahagiamu. Biarlah aku menikmati rasa ini dalam kepedihan hati. Aneh. Pedih kok dinikmati? Cinta memang aneh.
Memuja seseorang yang jelas
mencintai lelaki lain dan hanya menganggapmu tak lebih dari sahabat
biasa semata, adalah kegilaan teraneh yang dapat kubayangkan. Dan jika
ini adalah kebodohan, maka sungguh aku tidak ingin menjadi cerdas.
Bukankah selalu ada pembenaran dalam setiap pembodohan karena cinta,
meski yang paling aneh sekalipun?
Rasanya, aku sudah terdaftar dalam dunia orang-orang aneh karena cinta!
.
Aku menatap layar ponsel yang
menderetkan pesan yang baru kuterima dari Sinta. Huruf-huruf itu seperti
menari-nari, melengkungkan senyum yang begitu bahagia. Senyum Sinta.
Diam-diam, selarik iri menyibak dari kedalaman hatiku, menjelma rasa
yang meruah dalam bahasa yang tidak dapat kuterjemahkan. Cinta. Apakah
ia memilih atau dipilih? Atau tidak juga keduanya?
Aku mengenal Sinta seperti mengenal
sepanjang umur hidupku. Sedari kecil, Sinta selalu tahu apa yang
diinginkannya dan tidak segan-segan bekerja untuk meraih semua
impiannya. “Hidup adalah takdir yang kugariskan sendiri, Tiara”,
demikian pernah dikatakannya kepadaku. Sinta memang adalah perempuan
yang bergerak seperti angin yang berputaran, tidak terikat dengan peta
yang menjadi rambu pelayaran orang-orang pada umumnya. Seperti kali ini
juga, ketika dia mencintai seorang lelaki yang justru mentransaksikan
cintanya kepada pembeli-pembeli yang datang dan berlalu.
Aku ingin memandang Sinta dengan risih,
menghujaminya dengan berbagai tuduhan dan cercaan, seperti yang
selayaknya dilakukan seorang sahabat dan yang dituntut masyrakat. Tapi,
pesan yang baru terkirim ke ponsel-ku terbaca begitu bahagia. Ah, apakah
cinta memang menutup mata atas norma?
Aku tergugu. Memikirkan seorang lelaki
yang sebentar lagi akan pulang ke rumah. Seorang guru yang santun dalam
tutur dan bahasa, dan juga sesosok setan di malam hari yang gemar
mendera.
*****
[kolaborasot kwartet HAHAHAHA]
kami.
perempuan-perempuan bahagia.
cast:
Inge sebagai Sinta
Jingga sebagai Rama
Princess E Diary sebagai Putra
Meli Indie sebagai Tiara
.
Saksikan karya-karya FFK lainnya sebagaimana yang tertera pada link berikut ini:
*************
Pesta FFK Tgl 18 Maret 2011 Publish disini :)
Pesta FFK Tgl 18 Maret 2011 Publish disini :)
Mau lebih kenal Kampung Fiksi?? Lihat disini :) :
Kampung Fiksi blogspot
Kampung Fiksi FB
Kampung Fiksi Kompasiana
Provokator Kampung Fiksi :)
Mak Gaul :)
Kampung Fiksi FB
Kampung Fiksi Kompasiana
Provokator Kampung Fiksi :)
Mak Gaul :)
No comments:
Post a Comment