Wednesday, February 29, 2012

Kunikahi Suami Bunda Atas Nama Cinta


Tak pernah menyangka saat kerudung jingga itu benar-benar aku kenakan, bukan lagi mimpi yang aku renda bersama bait-bait hayal. Bukan hanya masturbasi otak yang aku nikmati tiap senja mulai memerah sampai ujung malam menyelimuti nyenyak tidurku. Aku sudah lama mengenal sosok Laki-laki ini, namun semua kemustahilan bermain dalam hati dan pikirku, bagaimana tidak laki-laki itu suami wanita yang sangat mencintaiku, yang dengan penuh cintanya dia selalu bawakan makanan kesukaanku, bahkan saat aku sakit dengan peluh dan air matanya dia duduk di sampingku sepanjang malam, Bunda… panggilan yang begitu lembut untuk semua kasih sayangnya. Aku memang tak lahir dari rahimnya, tetapi semua cinta yang dia berikan melayakkan dia untuk ku sebut BUNDA… tanpa mengurangi setitikpun kasih sayang dan penghormatanku kepada MOMMY wanita yang penuh cinta, wanita yang pertaruhkan nyawanya untuk membuatku lahir dan menikmati indahnya bumi yang aku pijak. 

Awal rasa itu muncul pada laki-laki itu, saat aku sering jengah menghadapi hidup, saat aku merasa terlalu bodoh dengan semua pilihan yang aku ambil dalam hidupku, aku gontai saat perahu cintaku dengan lelaki jinggaku kandas di tengah laut. Kandas tanpa badai yang berarti, hanya dia beranjak meniti hati dengan perempuan yang dia anggap lebih dari aku, saat itu aku tak tahu lagi bagaimana bentuk hatiku, semua hancur seperti kepingan tak beraturan, berdarah, perih… laki-laki itu datang dengan senyum tulusnya, berbagi pundak saat jiwa ini lelah. Tapi kesadaran kami mengikat kami kuat. Tak mungkin bermimpi!! Bunda terlalu mulia untuk dihianati…


Sampai saatnya…
Bunda tak kunjung pulang, entah mengapa bunda pergi dari rumah tanpa pesan dan kabar. Lelaki itu menjadi limbung, harapan demi harapan yang dia bangun, penantian demi penantian yang dia harapkan berujung senyuman tak kunjung tiba, aku perempuan terluka yang merasa meringkuk sepi tanpa cinta, dia laki-laki gamang yang ditinggal perempuannya. Aaaah… dia laki-laki normal yang butuh pelukan, saat itu kami semakin dekat, semua perhatian dan sayangnya menghiasi hari-hariku, 

“Jingga, tahukah kau abang sangat sayang jingga??”
“sangat tahu bang… sangat tahu… sesungguhnya jingga juga sangat sayang abang, hanya rasanya mustahil, itu yang membuat jingga berusaha menahan semua rasa didada, agak sakit Bang… tapi jingga harus kuat, kita terlambat untuk saling mengenal…” jawabku,  air mataku jatuh tak tertahan. Perih itu semakin menuntut semua pori-pori rasaku.
“Jingga, bunda tak pernah pulang, abang juga sangat tersiksa dengan semua ini, jingga sayang… mengapa kita tersiksa dalam rasa seperti ini, abang sakit.. dirimu juga sakit… sering kita hanyut dalam hasrat manusiawi yang penuh bara tanpa mampu kita tahan, bukankah ini dosa??? Mengapa tidak kita jadikan semua halal bagi kita.”

1321710289771158379

Hmmmm… penggalan-penggalan memori yang membawaku saat ini menjadi istri ke dua laki-laki ini, Maafkan aku Bunda Selsa… Cinta bang Ibay membuatku tak mampu menolak tiap percikan hasrat binalnya, jika tak kami halalkan hanya dosa yang akan membalut hari-hari kami. Tapi saat ini bunda tetap tak ada, hati kecilku ingin bersimpuh dikakinya, mohon ampunan untuk semuanya, namun tak munafik ketakutan cinta abang terbagi membuatku berharap bunda tak pernah kembali, aku takut… aku hanya stasiun tunggu bagi bang Ibay, ya.. ya… hanya stasiun tunggu saat gerbong cinta bunda tak kunjung pulang ke hatinya. Resah ini menuntut ego untuk sedikit lebih kejam. Aaaahhh… cinta… apakah cinta sudah membutakan nuraniku??? Entahlah…

Suasana pesta riuhnya sudah mulai senyap, ijab Kabul yang menguras air mata sudah aku lewati, Bang Ibay menjadi halal bagiku, malam ini malam pertamaku merenda cerita tanpa rasa berdosa, malam ini hujan, airnya cukup deras, petir saling sambar, dingin menusuk hingga ke sumsum, abang belum juga masuk ke kamar, mungkin ada tamu yang yang masih harus dia temui, aku sibuk melepas semua pernak-pernik yang aku kenakan, jantungku berdetak lebih keras dari biasanya, tanganku gemetar, sebentar saat suamiku masuk ke kamar ini, aku seorang istri yang harus melakukan kewajibanku. Getar didada ini tak sanggup aku tahan,  hasrat kami memang terbiasa saling pacu tetapi norma mengikat kami kuat, saat diambang batas siksa rasa kami, kami selalu berhenti menahan sekuat kami. Tapi malam mini tak ada lagi yang perlu kami tahan, halal…. Semua sudah halal bagi kami….
Bang Ibay melangkah masuk membuka pintu kamar, senyumnya penuh bara menggoda, ada hasrat menuntut malam yang menggoda di kedua matanya, aku juga ingin menjadi ratu malamnya dengan hati masih sedikit malu-malu, 

“jingga sayang, malam ini kita akan memburu dendam puluhan malam kita yang tak pernah puas… “ kalimat itu dia bisikkan ditelingaku sambil dia kecup mesra leherku, pelukannya makin menuntut… suara hujan yang cukup deras, dan halilintar yang tar berhenti bersahutan membawaku makin menikmati setiap sentuhannya… rasa yang bergelut dalam demndam puluhan malam… malam  ini harus terbayar! Harus tuntas tanpa siksa!! Saling jamah… saling sentuh… saling cakar… aaarrrrgghhh… 

“DUAAAAAAAAARRRRRRRRRRRR…… “

Suara dobrakan pintu kamar lebih riuh dari halilintar !!
“BUka pintunya buaya lapuuuukkkkkk, atau ku lempar kepala botakmu dengan cobek batuuuuuu!!!”
“Iiiii…. Iiiyaaaaa buuuuunn…. Iiiii… iiiyyyaaa…. Seeeseeebbbeeenntttaaarrr…..”
“Bang, gagal lagii…..” rintihku lirih….

1321698703890328024

No comments:

Post a Comment

Anda Gandrung Drakor? Orang Korea Itu Jatuh Cinta pada Negeriku!

  Hai pembaca, jumpa lagi dengan Nyai Sampur. Saat ini saya sedang tidak ingin bercerita hal mistis. Kita berbincang santai sambil ngopi, yu...