Tak pernah menyangka saat kerudung jingga itu benar-benar aku kenakan, bukan lagi mimpi yang aku renda bersama bait-bait hayal. Bukan
hanya masturbasi otak yang aku nikmati tiap senja mulai memerah sampai
ujung malam menyelimuti nyenyak tidurku. Aku sudah lama mengenal sosok
Laki-laki ini, namun semua
kemustahilan bermain dalam hati dan pikirku, bagaimana tidak laki-laki
itu suami wanita yang sangat mencintaiku, yang dengan penuh cintanya dia
selalu bawakan makanan kesukaanku, bahkan saat aku sakit dengan peluh
dan air matanya dia duduk di sampingku sepanjang malam, Bunda… panggilan
yang begitu lembut untuk semua kasih sayangnya. Aku memang tak lahir
dari rahimnya, tetapi semua cinta yang dia berikan melayakkan dia untuk
ku sebut BUNDA… tanpa mengurangi setitikpun kasih sayang dan
penghormatanku kepada MOMMY wanita yang penuh cinta, wanita yang
pertaruhkan nyawanya untuk membuatku lahir dan menikmati indahnya bumi
yang aku pijak.
Awal rasa itu muncul
pada laki-laki itu, saat aku sering jengah menghadapi hidup, saat aku
merasa terlalu bodoh dengan semua pilihan yang aku ambil dalam hidupku,
aku gontai saat perahu cintaku dengan lelaki jinggaku kandas di tengah
laut. Kandas tanpa badai yang berarti, hanya dia beranjak meniti hati
dengan perempuan yang dia anggap lebih dari aku, saat itu aku tak tahu
lagi bagaimana bentuk hatiku, semua hancur seperti kepingan tak
beraturan, berdarah, perih… laki-laki itu datang dengan senyum tulusnya,
berbagi pundak saat jiwa ini lelah. Tapi kesadaran kami mengikat kami
kuat. Tak mungkin bermimpi!! Bunda terlalu mulia untuk dihianati…
Sampai saatnya…
Bunda tak kunjung
pulang, entah mengapa bunda pergi dari rumah tanpa pesan dan kabar.
Lelaki itu menjadi limbung, harapan demi harapan yang dia bangun,
penantian demi penantian yang dia harapkan berujung senyuman tak kunjung
tiba, aku perempuan terluka yang merasa meringkuk sepi tanpa cinta, dia
laki-laki gamang yang ditinggal perempuannya. Aaaah… dia laki-laki
normal yang butuh pelukan, saat itu kami semakin dekat, semua perhatian
dan sayangnya menghiasi hari-hariku,
“Jingga, tahukah kau abang sangat sayang jingga??”
“sangat tahu bang… sangat
tahu… sesungguhnya jingga juga sangat sayang abang, hanya rasanya
mustahil, itu yang membuat jingga berusaha menahan semua rasa didada,
agak sakit Bang… tapi jingga harus kuat, kita terlambat untuk saling
mengenal…” jawabku, air mataku jatuh tak tertahan. Perih itu semakin
menuntut semua pori-pori rasaku.
“Jingga, bunda tak
pernah pulang, abang juga sangat tersiksa dengan semua ini, jingga
sayang… mengapa kita tersiksa dalam rasa seperti ini, abang sakit..
dirimu juga sakit… sering kita hanyut dalam hasrat manusiawi yang penuh
bara tanpa mampu kita tahan, bukankah ini dosa??? Mengapa tidak kita
jadikan semua halal bagi kita.”
Hmmmm…
penggalan-penggalan memori yang membawaku saat ini menjadi istri ke dua
laki-laki ini, Maafkan aku Bunda Selsa… Cinta bang Ibay membuatku tak
mampu menolak tiap percikan hasrat binalnya, jika tak kami halalkan
hanya dosa yang akan membalut hari-hari kami. Tapi
saat ini bunda tetap tak ada, hati kecilku ingin bersimpuh dikakinya,
mohon ampunan untuk semuanya, namun tak munafik ketakutan cinta abang
terbagi membuatku berharap bunda tak pernah kembali, aku takut… aku
hanya stasiun tunggu bagi bang Ibay, ya.. ya… hanya stasiun tunggu saat
gerbong cinta bunda tak kunjung pulang ke hatinya. Resah ini menuntut
ego untuk sedikit lebih kejam. Aaaahhh… cinta… apakah cinta sudah
membutakan nuraniku??? Entahlah…
Suasana pesta riuhnya
sudah mulai senyap, ijab Kabul yang menguras air mata sudah aku lewati,
Bang Ibay menjadi halal bagiku, malam ini malam pertamaku merenda cerita
tanpa rasa berdosa, malam ini hujan, airnya cukup deras, petir saling
sambar, dingin menusuk hingga ke sumsum, abang belum juga masuk ke
kamar, mungkin ada tamu yang yang masih harus dia temui, aku sibuk
melepas semua pernak-pernik yang aku kenakan, jantungku berdetak lebih
keras dari biasanya, tanganku gemetar, sebentar saat suamiku masuk ke
kamar ini, aku seorang istri yang harus melakukan kewajibanku. Getar
didada ini tak sanggup aku tahan, hasrat kami memang terbiasa saling
pacu tetapi norma mengikat kami kuat, saat diambang batas siksa rasa
kami, kami selalu berhenti menahan sekuat kami. Tapi malam mini tak ada
lagi yang perlu kami tahan, halal…. Semua sudah halal bagi kami….
Bang Ibay melangkah
masuk membuka pintu kamar, senyumnya penuh bara menggoda, ada hasrat
menuntut malam yang menggoda di kedua matanya, aku juga ingin menjadi
ratu malamnya dengan hati masih sedikit malu-malu,
“jingga sayang, malam
ini kita akan memburu dendam puluhan malam kita yang tak pernah puas… “
kalimat itu dia bisikkan ditelingaku sambil dia kecup mesra leherku,
pelukannya makin menuntut… suara hujan yang cukup deras, dan halilintar
yang tar berhenti bersahutan membawaku makin menikmati setiap
sentuhannya… rasa yang bergelut dalam demndam puluhan malam… malam ini
harus terbayar! Harus tuntas tanpa siksa!! Saling jamah… saling sentuh…
saling cakar… aaarrrrgghhh…
“DUAAAAAAAAARRRRRRRRRRRR…… “
Suara dobrakan pintu kamar lebih riuh dari halilintar !!
“BUka pintunya buaya lapuuuukkkkkk, atau ku lempar kepala botakmu dengan cobek batuuuuuu!!!”
“Iiiii…. Iiiyaaaaa buuuuunn…. Iiiii… iiiyyyaaa…. Seeeseeebbbeeenntttaaarrr…..”
“Bang, gagal lagii…..” rintihku lirih….
No comments:
Post a Comment