Thursday, November 18, 2021

Cerita Mistis dan Teror Rumah Angker di Lereng Lawu Bagian Dua

 


Cerita mistis dan teror rumah angker di lereng Lawu pertama sudah saya kisahkan. Saya bersama suami tinggal di rumah tua di desa kecil yang letaknya di antara Cemoro Kandang dan Tawangmangu.

Pembaca boleh saja mengatakan bahwa cerita mistis dan teror di rumah angker ini hanya kisah fiksi. Saya sendiri saat mengalami hal ini seperti tidak percaya dengan apa yang saya lihat dan dengar.

Seperti yang sudah saya kisahkan sebelumnya, saat itu saya sedang sendiri di rumah itu. Suami saya sedang keluar kota. Suara gaduh terdengar dari dapur sekitar jam tiga pagi. Kejadian berikutnya membuat saya bertanya dalam hati, misteri apa sebenarnya yang terbungkus di balik kengerian ini? Adakah kisah dan cerita mistis di baliknya?

 

Sampai pada suatu hari ada Pak Larwo (bukan nama sebenarnya) datang ke rumah. Pak Larwo ini adalah orang yang ditugaskan oleh pemilik rumah untuk membantu kami jika ada masalah di rumah yang kami sewa. Misalnya masalah air atau mungkin ada yang masih bocor di rumah itu.

Awalnya, setelah kejadian pagi itu, saya sempat menghubungi pemilik rumah dan menceritakan apa yang terjadi. Pemilik rumah hanya tersenyum, tanpa banyak menanggapi. Kemudian pemilik rumah meminta kepada saya untuk menyimpan pengalaman itu untuk saya sendiri saja.

 

Pemilik rumah juga meminta agar saya tidak bercerita kepada siapa pun mengenai hal tersebut. Termasuk pada stafnya yang terkadang pasti beliau utus ke rumah itu.

Karena tetap tidak mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam hati saya, maka saat Pak Larwo ke rumah, saya pun mencoba mengorek informasi darinya.

 

“Pak, permisi mau tanya. Apakah di dekat sini ada kuburan, atau yang lain mungkin?”

 

“Mbak, di belakang rumah ini kan, pemakaman umum. Dua ratus meter dari rumah ini ada dua punden yang masih digunakan oleh sebagian warga sekitar untuk melakukan ritual. Bahkan setiap enam bulan pada penanggalan Jawa, di sini masih rutin ada ritual dan tradisi bersih desa.”

 

Begitulah jawaban tak terduga dari Pak Larwo. Saya mulai sedikit mengerti.

“Pundennya siapa, Pak?” tanya saya kemudian.

 

“Punden yang pertama dulu ada arca perempuan menggendong bayi, Mbak, tapi sekarang arca aslinya kepalanya terpenggal. Dulu pernah dihancurkan oleh beberapa penduduk sekitar yang tidak setuju ada punden di desa ini.”

 

Nah, saya makin penasaran dengan jawaban ini.

 

“Kepala adat yang juga juru kunci punden juga sempat didemo, tapi setelahnya ada kejadian mengerikan di desa ini, Mbak.”

 

“Kejadian aneh bagaimana, Pak?” tanya saya kemudian makin penasaran.

 

“Begini, Mbak. Beberapa hari setelah arca itu dihancurkan, semua pelakunya mati satu per satu.”

 

Duh, merinding saya mendengar bagian ini.

 

“Ada yang kecelakaan di jalan, ada yang jatuh di rumah, semua tidak tersisa,” lanjut Pak Larwo. “Anehnya, mereka terluka di bagian mana mereka hancurkan arca itu. Ada yang kena kepalanya, ada yang kena bahu atau kakinya. Sama persis letaknya dengan rusaknya arca itu.”

 

“Lalu, Pak?” tanya saya makin ingin tahu.

 

“Kejadiannya tidak berhenti sampai di sana, Mbak. Penduduk desa ini mati satu per satu dalam waktu yang berdekatan. Misal hari ini satu rumah penduduk ada yang mati mendadak, besok tetangga sebelah rumah. Besoknya lagi depan rumah, dan begitu terus, hingga akhirnya desa ini sepakat menyerahkan masalah ini kepada kepala adat di sini.”

Pembaca pasti bisa membayangkan bagaimana mengerikan kisah itu. Saya sesaat tak dapat berkata-kata mendengar cerita Pak Larwo.

 

“Setelah menyerahkan masalah ini kepada kepala adat, dibuatkanlah patung baru yang sama persis di dalam punden pertama. Sementara patung asli yang sudah tidak berkepala diletakkan di samping bangunan punden. Dengan upacara besar,” lanjut Pak Larwo.

 

“Sejak itu, kasus mati mendadak berhenti di desa ini, dan tidak ada yang berani melarang adanya punden itu ataupun upacara bersih desa di sini. Ya… sekarang saling menghormati keyakinan masing-masing saja, Mbak, lebih aman. Desa ini aman sekali, Mbak, tidak ada yang bisa mencuri di sini,” kata Pak Larwo.

 

“Pernah ada penduduk luar desa yang mencoba mencuri di sini, dia tidak bisa keluar dari desa, kebingungan sendiri.”

 

“Lalu, punden yang kedua, Pak?”

 

“Itu punden untuk orang sepuh yang menjadi cikal bakal desa ini ada, Mbak.”

 

Saya hanya bisa melongo mendengarnya.

 

“Tenang saja, Mbak, di sini aman, yang penting santun. Kalau sesekali ada kejadian aneh, santai saja. Permisi saja kalau Mbaknya mau tinggal di sini.”

 

Saya jadi paham dengan yang terjadi di rumah itu, tanpa harus bercerita ke Pak Larwo.

 

 

Bersambung….

 

Penulis: Nyai Sampur

 

Editor: Blackrose


No comments:

Post a Comment

Anda Gandrung Drakor? Orang Korea Itu Jatuh Cinta pada Negeriku!

  Hai pembaca, jumpa lagi dengan Nyai Sampur. Saat ini saya sedang tidak ingin bercerita hal mistis. Kita berbincang santai sambil ngopi, yu...