Cerita
mistis dan teror rumah angker di lereng Lawu pertama sudah saya kisahkan. Saya
bersama suami tinggal di rumah tua di desa kecil yang letaknya di antara Cemoro
Kandang dan Tawangmangu.
Pembaca
boleh saja mengatakan bahwa cerita mistis dan teror di rumah angker ini hanya
kisah fiksi. Saya sendiri saat mengalami hal ini seperti tidak percaya dengan
apa yang saya lihat dan dengar.
Seperti yang
sudah saya kisahkan sebelumnya, saat itu saya sedang sendiri di rumah itu.
Suami saya sedang keluar kota. Suara gaduh terdengar dari dapur sekitar jam
tiga pagi. Kejadian berikutnya membuat saya bertanya dalam hati, misteri apa
sebenarnya yang terbungkus di balik kengerian ini? Adakah kisah dan cerita
mistis di baliknya?
Sampai pada
suatu hari ada Pak Larwo (bukan nama sebenarnya) datang ke rumah. Pak Larwo ini
adalah orang yang ditugaskan oleh pemilik rumah untuk membantu kami jika ada
masalah di rumah yang kami sewa. Misalnya masalah air atau mungkin ada yang
masih bocor di rumah itu.
Awalnya,
setelah kejadian pagi itu, saya sempat menghubungi pemilik rumah dan
menceritakan apa yang terjadi. Pemilik rumah hanya tersenyum, tanpa banyak
menanggapi. Kemudian pemilik rumah meminta kepada saya untuk menyimpan
pengalaman itu untuk saya sendiri saja.
Pemilik
rumah juga meminta agar saya tidak bercerita kepada siapa pun mengenai hal tersebut.
Termasuk pada stafnya yang terkadang pasti beliau utus ke rumah itu.
Karena tetap
tidak mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam hati saya, maka saat
Pak Larwo ke rumah, saya pun mencoba mengorek informasi darinya.
“Pak,
permisi mau tanya. Apakah di dekat sini ada kuburan, atau yang lain mungkin?”
“Mbak, di
belakang rumah ini kan, pemakaman umum. Dua ratus meter dari rumah ini ada dua
punden yang masih digunakan oleh sebagian warga sekitar untuk melakukan ritual.
Bahkan setiap enam bulan pada penanggalan Jawa, di sini masih rutin ada ritual
dan tradisi bersih desa.”
Begitulah
jawaban tak terduga dari Pak Larwo. Saya mulai sedikit mengerti.
“Pundennya siapa,
Pak?” tanya saya kemudian.
“Punden yang
pertama dulu ada arca perempuan menggendong bayi, Mbak, tapi sekarang arca
aslinya kepalanya terpenggal. Dulu pernah dihancurkan oleh beberapa penduduk
sekitar yang tidak setuju ada punden di desa ini.”
Nah, saya
makin penasaran dengan jawaban ini.
“Kepala adat
yang juga juru kunci punden juga sempat didemo, tapi setelahnya ada kejadian
mengerikan di desa ini, Mbak.”
“Kejadian
aneh bagaimana, Pak?” tanya saya kemudian makin penasaran.
“Begini,
Mbak. Beberapa hari setelah arca itu dihancurkan, semua pelakunya mati satu per
satu.”
Duh,
merinding saya mendengar bagian ini.
“Ada yang
kecelakaan di jalan, ada yang jatuh di rumah, semua tidak tersisa,” lanjut Pak
Larwo. “Anehnya, mereka terluka di bagian mana mereka hancurkan arca itu. Ada
yang kena kepalanya, ada yang kena bahu atau kakinya. Sama persis letaknya
dengan rusaknya arca itu.”
“Lalu, Pak?”
tanya saya makin ingin tahu.
“Kejadiannya
tidak berhenti sampai di sana, Mbak. Penduduk desa ini
mati satu per satu dalam waktu yang berdekatan. Misal hari ini satu rumah
penduduk ada yang mati mendadak, besok tetangga sebelah rumah. Besoknya lagi
depan rumah, dan begitu terus, hingga akhirnya desa ini sepakat menyerahkan
masalah ini kepada kepala adat di sini.”
Pembaca pasti bisa membayangkan bagaimana mengerikan
kisah itu. Saya sesaat tak dapat berkata-kata mendengar cerita Pak Larwo.
“Setelah menyerahkan masalah ini kepada kepala adat,
dibuatkanlah patung baru yang sama persis di dalam punden pertama. Sementara
patung asli yang sudah tidak berkepala diletakkan di samping bangunan punden.
Dengan upacara besar,” lanjut Pak Larwo.
“Sejak itu, kasus mati mendadak berhenti di desa ini,
dan tidak ada yang berani melarang adanya punden itu ataupun upacara bersih
desa di sini. Ya… sekarang saling menghormati keyakinan masing-masing saja,
Mbak, lebih aman. Desa ini aman sekali, Mbak, tidak ada yang bisa mencuri di
sini,” kata Pak Larwo.
“Pernah ada penduduk luar desa yang mencoba mencuri di
sini, dia tidak bisa keluar dari desa, kebingungan sendiri.”
“Lalu, punden yang kedua, Pak?”
“Itu punden untuk orang sepuh yang menjadi cikal bakal
desa ini ada, Mbak.”
Saya hanya bisa melongo mendengarnya.
“Tenang saja, Mbak, di sini aman, yang penting santun.
Kalau sesekali ada kejadian aneh, santai saja. Permisi saja kalau Mbaknya mau
tinggal di sini.”
Saya jadi paham dengan yang terjadi di rumah itu,
tanpa harus bercerita ke Pak Larwo.
Bersambung….
Penulis:
Nyai Sampur
Editor:
Blackrose
No comments:
Post a Comment