Thursday, November 18, 2021

Cerita Mistis dan Teror Rumah Angker di Lereng Lawu Bagian Tiga


 

Sebelum membaca cerita mistis dan teror rumah angker bagian tiga ini, ada baiknya pembaca membuka dan membaca dulu bagian satu dan dua.

 

Pada cerita mistis dan teror di rumah angker bagian dua sudah saya ceritakan penuturan Pak Larwo. Pembaca tentu dapat membayangkan, betapa saya memerlukan waktu beberapa saat untuk diam, setelah mendengar cerita Pak Larwo.

 

Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, cerita mistis dan teror rumah angker di lereng Lawu ini berawal ketika saya dan suami tinggal di rumah tua yang kami sewa di sekitar Tawangmangu dan cemoro kandang. Rumah ini terletak di kaki Gunung Lawu.

 

Saat itu saya bahagia sekali. Setelah melewati hari-hari mencekam seorang diri, akhirnya suami saya pulang ke rumah yang kami sewa bersama itu. Tentu saja saya berharap tak akan ada lagi cerita mistis dan teror rumah angker.

Banyak yang saya ceritakan saat itu pada suami. Khususnya bagaimana saya harus ketakutan sendiri dengan semua teror arwah di rumah itu.

 

Tanggapan suami saya seperti biasanya, dia hanya tersenyum. Tentu saja dia paham sekali kalau saya mempunyai kemampuan melihat hal-hal mistis.

 

“Sudah hampir delapan tahun mata batinmu terbuka, mengapa masih saja takut?” tanya suami saya. “Harusnya kamu sudah terbiasa dengan semua itu. Enjoy saja, Sayang,” hiburnya.

 

Tentu saja saya langsung menjawab, “Tidak takut bagaimana toh, Mas? Kalau saya tidak sendirian, saya tidak takut sama sekali, tapi kalau sendirian ya saya takut.”

 

“Kamu harus bisa hadapi ketakutanmu, karena kamu juga tidak bisa menutup mata batinmu. Itu justru bagus, kamu jadi tahu apa yang terjadi di dimensi lain.”

 

Percakapan kami tentang cerita mistis di rumah ini kami akhiri dengan secangkir kopi pahit dan pisang goreng sebagai kudapan. Kami sama-sama mencoba melupakan kejadian-kejadian yang saya alami.

 

Beberapa hari setelah itu, saat saya sedang santai duduk di meja makan, tiba-tiba ada istri Pak Larwo sudah masuk ke rumah lewat pintu samping. Pintu itu memang jarang saya tutup. Bu Larwo sudah berdiri di depan meja makan saya.

 

“Mbak, saya lihat pintunya terbuka, jadi saya masuk saja,” katanya dengan sopan. “Saya ke sini mau minta tolong, Mbak. Saya pinjam uang lima ratus ribu, besok saya kembalikan.”

 

“Untuk apa, Bu?” tanya saya.

 

“Untuk bayar arisan, Mbak. Uang saya ga cukup,” jawab Bu Larwo.

 

“Begini saja, Bu, kalau uang sebanyak itu terus terang saya ga ada, sebentar yaa….”

 

Saya ke kamar mengambil selembar uang seratus ribu, lalu memberikannya pada Bu Larwo.

 

“Bu, pakai saja uang ini, ga perlu berpikir untuk kembalikan uang ini ke saya. Pakai saja yang saya punya, saya mampu kasih cuma itu, Bu, sisanya untuk kebutuhan saya di sini juga.”

 

Setelah ucapkan terima kasih, Bu Larwo pun pulang.

 

Besoknya, saat saya mau ke pasar, saya cari dompet saya di dapur tidak ada, paniklah saya. Karena di sana bukan hanya uang saja, tetapi ada KTP, kartu ATM, dan SIM saya. Untuk pulang mengurus semua yang hilang itu terbayang kan, repotnya.

 

“Mas, Maaasss… lihat dompet saya ga?” tanya saya kepada suami saya.

 

“Nggak, saya tidak lihat,” jawab suami saya.

 

“Dompet saya hilang, Mas, kemarin Bu Larwo ke sini mau pinjam uang, kan? Jangan-jangan….”

 

“Jangan curiga dulu,” potong suami saya. “Kamu ingat-ingat dulu, kamu letakkan di mana dompetmu.”

 

Hasilnya, sampai malam dompet itu raib entah ke mana, dan saya tetap saja panik. Saat saya sedang di dapur menyiapkan makan malam, suami saya menghampiri saya.

 

“Sayang,” katanya, “kemarin arwah ibu-ibu tua di gudang belakang minta dupa kan, ke kamu? Saya minta, kamu kasih saja, kamu ngotot ga mau.”

 

“Iya, kenapa?” tanya saya, tak tahu arah pembicaraan.

 

“Kamu kan, bisa interaksi dengan arwah. Coba kamu nyalain dupa untuk ibu tua itu. Kamu tanya di mana dompetmu. Saya pikir dan yakin ibu itu yang sembunyikan, karena keinginannya tidak kamu berikan. Ayo, saya siapkan dupanya, saya yang nyalakan. Kamu yang ajak bicara.”

 

Saya tidak begitu yakin dengan ucapak suami saya, tapi karena penasaran, malam itu saya bersedia. Setelah dupa dinyalakan, saya mencoba mengajak berinteraksi arwah ibu di gudang yang letaknya di belakang dapur rumah kami.

 

Sejenak aroma dupa begitu harum memenuhi ruang dapur, sampai akhirnya sosok arwah ibu itu muncul. Terlihat serupa siluet yang tidak terlalu jernih, tetapi cukup jelas sosoknya.

 

“Permisi, Bu, di mana dompet saya?” Saya segera bertanya padanya.

 

“Di kamar saya,” jawab arwah itu datar.

 

“Sayang, coba kamu ke gudang, cari dompetnya di sana. Kata ibu ini, dia bawa ke kamarnya,” kata saya pada suami saya.

 

Suami saya bergegas ke gudang rumah dan benar, di sana ada dompet saya. Perjanjian kami dengan pemilik rumah, rumah itu hak tinggal kami, kecuali gudang, karena gudang itu dipakai pemilik rumah untuk menyimpan barang-barangnya.

 

Gudang itu punya pintu yang langsung ke dalam rumah yang saya tinggal. Sedang pintu lainnya dari gang di samping rumah, yang terhubung dengan rumah dan memang tidak pernah dia kunci.

 

Titip, istilah sang nyonya rumah, biar saya dan suami sesekali bisa melihat, kali saja ada yang bocor. Jadi saya belum tentu tiga minggu sekali masuk gudang itu.

 

Apalagi saya tahu, gudang itu angker. Arwah perempuan yang sering ke dapur rumah, setiap kali menghilang, dia kembali ke gudang itu, yang dia sebut kamarnya.

 

“Semua ada, Sayang. KTP, SIM, dan kartu ATM lengkap, tetapi uangnya tidak ada semua. Tanyakan di mana,” kata suami saya.

 

“Bu, di mana uangnya?” tanya saya tak sabar, dengan sengatan wangi dupa masih memenuhi dapur.

 

Sementara itu, suami saya berdiri tak sabar dan penasaran di samping saya. Arwah perempuan itu menunjuk pada kotak kardus berisi tumpukan kantong plastik bekas di sudut dapur.

 

“Sayang, tolong bongkar kotak kardus itu,” ucap saya pada suami saya, dan lima lembar uang seratus ribu masih utuh, tergulung dalam kotak kardus besar itu.

 

“Kamu sih, sudah saya bilang kasih saja dupa yang dia minta daripada dia jahil ke kita,” gerutu suami saya”

 

Penulis: Nyai Sampur

 

Editor: Blackrose

 

 

 


No comments:

Post a Comment

Anda Gandrung Drakor? Orang Korea Itu Jatuh Cinta pada Negeriku!

  Hai pembaca, jumpa lagi dengan Nyai Sampur. Saat ini saya sedang tidak ingin bercerita hal mistis. Kita berbincang santai sambil ngopi, yu...