Sebelum
membaca cerita mistis dan teror rumah angker bagian tiga ini, ada baiknya
pembaca membuka dan membaca dulu bagian satu dan dua.
Pada cerita
mistis dan teror di rumah angker bagian dua sudah saya ceritakan penuturan Pak
Larwo. Pembaca tentu dapat membayangkan, betapa saya memerlukan waktu beberapa
saat untuk diam, setelah mendengar cerita Pak Larwo.
Seperti yang
sudah saya ceritakan sebelumnya, cerita mistis dan teror rumah angker di lereng
Lawu ini berawal ketika saya dan suami tinggal di rumah tua yang kami sewa di
sekitar Tawangmangu dan cemoro kandang. Rumah ini terletak di kaki Gunung Lawu.
Saat itu
saya bahagia sekali. Setelah melewati hari-hari mencekam seorang diri, akhirnya
suami saya pulang ke rumah yang kami sewa bersama itu. Tentu saja saya berharap
tak akan ada lagi cerita mistis dan teror rumah angker.
Banyak yang
saya ceritakan saat itu pada suami. Khususnya bagaimana saya harus ketakutan
sendiri dengan semua teror arwah di rumah itu.
Tanggapan
suami saya seperti biasanya, dia hanya tersenyum. Tentu saja dia paham sekali
kalau saya mempunyai kemampuan melihat hal-hal mistis.
“Sudah
hampir delapan tahun mata batinmu terbuka, mengapa masih saja takut?” tanya
suami saya. “Harusnya kamu sudah terbiasa dengan semua itu. Enjoy saja,
Sayang,” hiburnya.
Tentu saja
saya langsung menjawab, “Tidak takut bagaimana toh, Mas? Kalau saya tidak
sendirian, saya tidak takut sama sekali, tapi kalau sendirian ya saya takut.”
“Kamu harus bisa
hadapi ketakutanmu, karena kamu juga tidak bisa menutup mata batinmu. Itu
justru bagus, kamu jadi tahu apa yang terjadi di dimensi lain.”
Percakapan
kami tentang cerita mistis di rumah ini kami akhiri dengan secangkir kopi pahit
dan pisang goreng sebagai kudapan. Kami sama-sama mencoba melupakan
kejadian-kejadian yang saya alami.
Beberapa
hari setelah itu, saat saya sedang santai duduk di meja makan, tiba-tiba ada
istri Pak Larwo sudah masuk ke rumah lewat pintu samping. Pintu itu memang
jarang saya tutup. Bu Larwo sudah berdiri di depan meja makan saya.
“Mbak, saya
lihat pintunya terbuka, jadi saya masuk saja,” katanya dengan sopan. “Saya ke
sini mau minta tolong, Mbak. Saya pinjam uang lima ratus ribu, besok saya kembalikan.”
“Untuk apa,
Bu?” tanya saya.
“Untuk bayar
arisan, Mbak. Uang saya ga cukup,” jawab Bu Larwo.
“Begini
saja, Bu, kalau uang sebanyak itu terus terang saya ga ada, sebentar yaa….”
Saya ke
kamar mengambil selembar uang seratus ribu, lalu memberikannya pada Bu Larwo.
“Bu, pakai
saja uang ini, ga perlu berpikir untuk kembalikan uang ini ke saya. Pakai saja
yang saya punya, saya mampu kasih cuma itu, Bu, sisanya untuk kebutuhan saya di
sini juga.”
Setelah
ucapkan terima kasih, Bu Larwo pun pulang.
Besoknya,
saat saya mau ke pasar, saya cari dompet saya di dapur tidak ada, paniklah
saya. Karena di sana bukan hanya uang saja, tetapi ada KTP, kartu ATM, dan SIM
saya. Untuk pulang mengurus semua yang hilang itu terbayang kan, repotnya.
“Mas,
Maaasss… lihat dompet saya ga?” tanya saya kepada suami saya.
“Nggak, saya
tidak lihat,” jawab suami saya.
“Dompet saya
hilang, Mas, kemarin Bu Larwo ke sini mau pinjam uang, kan? Jangan-jangan….”
“Jangan
curiga dulu,” potong suami saya. “Kamu ingat-ingat dulu, kamu letakkan di mana
dompetmu.”
Hasilnya,
sampai malam dompet itu raib entah ke mana, dan saya tetap saja panik. Saat
saya sedang di dapur menyiapkan makan malam, suami saya menghampiri saya.
“Sayang,”
katanya, “kemarin arwah ibu-ibu tua di gudang belakang minta dupa kan, ke kamu?
Saya minta, kamu kasih saja, kamu ngotot ga mau.”
“Iya,
kenapa?” tanya saya, tak tahu arah pembicaraan.
“Kamu kan,
bisa interaksi dengan arwah. Coba kamu nyalain dupa untuk ibu tua itu. Kamu
tanya di mana dompetmu. Saya pikir dan yakin ibu itu yang sembunyikan, karena
keinginannya tidak kamu berikan. Ayo, saya siapkan dupanya, saya
yang nyalakan. Kamu yang ajak bicara.”
Saya tidak begitu yakin dengan ucapak suami saya, tapi
karena penasaran, malam itu saya bersedia. Setelah dupa dinyalakan, saya
mencoba mengajak berinteraksi arwah ibu di gudang yang letaknya di belakang
dapur rumah kami.
Sejenak aroma dupa begitu harum memenuhi ruang dapur,
sampai akhirnya sosok arwah ibu itu muncul. Terlihat serupa siluet yang tidak
terlalu jernih, tetapi cukup jelas sosoknya.
“Permisi, Bu, di mana dompet saya?” Saya segera
bertanya padanya.
“Di kamar saya,” jawab arwah itu datar.
“Sayang, coba kamu ke gudang, cari dompetnya di sana.
Kata ibu ini, dia bawa ke kamarnya,” kata saya pada suami saya.
Suami saya bergegas ke gudang rumah dan benar, di sana
ada dompet saya. Perjanjian kami dengan pemilik rumah, rumah itu hak tinggal
kami, kecuali gudang, karena gudang itu dipakai pemilik rumah untuk menyimpan
barang-barangnya.
Gudang itu punya pintu yang langsung ke dalam rumah
yang saya tinggal. Sedang pintu lainnya dari gang di samping rumah, yang
terhubung dengan rumah dan memang tidak pernah dia kunci.
Titip, istilah sang nyonya rumah, biar saya dan suami
sesekali bisa melihat, kali saja ada yang bocor. Jadi saya belum tentu tiga
minggu sekali masuk gudang itu.
Apalagi saya tahu, gudang itu angker. Arwah perempuan
yang sering ke dapur rumah, setiap kali menghilang, dia kembali ke gudang itu,
yang dia sebut kamarnya.
“Semua ada, Sayang. KTP, SIM, dan kartu ATM lengkap,
tetapi uangnya tidak ada semua. Tanyakan di mana,” kata suami saya.
“Bu, di mana uangnya?” tanya saya tak sabar, dengan
sengatan wangi dupa masih memenuhi dapur.
Sementara itu, suami saya berdiri tak sabar dan
penasaran di samping saya. Arwah perempuan itu menunjuk pada kotak kardus
berisi tumpukan kantong plastik bekas di sudut dapur.
“Sayang, tolong bongkar kotak kardus itu,” ucap saya
pada suami saya, dan lima lembar uang seratus ribu masih utuh, tergulung dalam
kotak kardus besar itu.
“Kamu sih, sudah saya bilang kasih saja dupa yang dia
minta daripada dia jahil ke kita,” gerutu suami saya”
Penulis: Nyai Sampur
Editor: Blackrose
No comments:
Post a Comment